Ini dia acara yang membeberkan kehebatan bangsa Indonesia. Kehebatan orang - orang yang tidak tersentuh oleh media, kehebatan orang - orang kampung yang memiliki hati mulia untuk masyarakat, lingkungan dan alam.
Harusnya NEGARA ini malu, harusnya PEMERINTAH malu. Kenapa orang kecil, orang kampung seperti Pak Abu Wenna, , Pak Sunarya dan Slamet Hadi serta Ibu Sriyatun Djupri, mampu mendobarak sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Harusnya negeri ini mampu membuat dan memiliki pembangkit listrik sendiri. Berapa banyak air terjun yang ada di Indonesia ini? kenapa Indonesia tidak memiliki pembangkit listrik sendiri ? Kenapa harus import/ beli listrik dari luar ?
Banyak alasan yang saya dengar dari teman-teman LSM/NGO, katanya jika negara membangun hal ini, negara tidak untung. Bahkan bisa jadi negara akan merugi. ANEH buat saya jika negara memikirkan untung dan rugi. Negara ada bukanlah mencari keuntungan, Negara bukanlah Perusahaan, yang memiliki tujuan cari untung, sebab Negara bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.
Berikut kutipan cerita dari acara Kick Andy yang saya lihat semalam.
Dikutip dari : http://www.kickandy.com/pretopik.asp
MENDOBRAK KEMUSTAHILAN
Dasar orang stress! Justru celaan seperti itulah yang diterima oleh pasangan paman dan keponakan, Sunarya dan Slamet Hadi dari Dusun Sungai Tengah Jember Jawa Timur, saat pertama kali melaksanakan misinya pada tahun 1994. Semangat mulia mereka untuk mencari solusi penerangan bagi desanya yang selama bertahun-tahun tak terjangkau listrik negara, harus menghadapi sikap pesimistis dari sebagian besar tetangganya. Bagi sebagian besar warga dusun Sungai Tengah, upaya membuat listrik dengan cara memahat tebing bukit berbatu keras demi mengalirkan air ke dusun dan menciptakan listrik dari air, benar-benar tak pernah sampai di pemikiran mereka. Sebuah kerja berat yang oleh dua orang ini, dilakukan awalnya secara "trial and error" saja karena mereka tak berbekal pengetahuan teknik yang memadai soal "teknologi pembangkit listrik".
Namun berkat kegigihan dan kerja keras tak kenal lelah Sunarya dan Slamet Hadi, justru warga yang pertama kali mencibir merekalah yang pertama kali juga meminta aliran listrik ke rumahnya. Listrik berdaya 5000 watt dari kincir air, berhasil diciptakan duet "pakdhe" dan "ponakan" ini untuk menerangi sekitar 150 rumah di dusun Sungai Tengah. Bahkan kegigihan pasangan ini, akhirnya memotivasi sekitar 50 warga lainnya untuk mengikuti jejak mereka membuat generator pembangkit listrik mini di rumahnya masing-masing.
Sementara bagi warga Bagendit Garut Jawa Barat, iuran sesendok beras dan uang seratus rupiah per hari mampu diubah menjadi bangunan madrasah atau sekolah, masjid, jalan beraspal hingga fasilitas umum dan sosial desa. Warga desa Bagendit mampu mengubah wajah desanya menjadi lebih indah dan sejahtera secara swadaya, tanpa campur tangan bantuan dari pemerintah.
Semuanya berawal dari tradisi turun temurun iuran sesendok beras per hari yang tetap dipatuhi setiap warga, untuk dikumpulkan sebagai dana swadaya masyarakat. Tekad untuk meneruskan tradisi ini, dilaksanakan oleh kepala desa Bagendit yang juga mewarisi jabatan itu dari ayahnya, Yayan Sofyan. Didukung oleh sejumlah tokoh pemuda desa, muncul inovasi untuk menambahi iuran sesendok beras dengan iuran uang seratus rupiah per hari. Dengan pengelolaan yang baik, dana tersebut mampu dikembangkan selain sebagai dana pembangunan desa, juga sebagai dana simpan pinjam, dana asuransi kesehatan hingga dana beasiswa sekolah ke tingkat SMA.
Sedangkan bagi Abu Wenna, petambak dari desa Lauwa, Wajo, Sulawesi Selatan, abrasi pantai di daerahnya yang mencapai 17 meter per tahun benar-benar menjadi kepedulian utamanya. Tanpa memperdulikan celaan tetangganya yang menganggapnya sebagai orang gila, Abu Wenna sendirian menyusuri pantai teluk Bone dan mulai menanami pesisir pantai dengan beragam tanaman Mangrove pada tahun 1994. "Semua orang berpendapat bahwa menanam Mangrove sia-sia untuk mencegah abrasi, menurut mereka harusnya dengan pembangunan beton untuk memagari pantai. Tapi bagi saya, tanaman Mangrove-lah yang paling tepat untuk menjaga pantai dari pengikisan" terang Abu Wenna.
Alhasil, sikap cuek Abu Wenna untuk terus melaksanakan misinya berujung dengan sejumlah keberhasilan. Abrasi pantai di kawasan Teluk Bone telah berkurang drastis sepanjang 17 kilometer, berkat rerimbunan tanaman Mangrove yang ditanam Abu Wenna. Tak hanya itu, kerja kerasnya menyelamatkan pantai dari pengikisan diakui oleh pemerintah pusat. Pada 5 Juni 2008 lalu, Abu Wenna diundang presiden SBY ke Istana Negara untuk menerima penghargaan Kalpataru sebagai salah satu tokoh perintis lingkungan hidup.
Penghargaan serupa juga dianugerahkan pada Sriyatun Djupri, ibu rumah tangga dari kelurahan Jambangan Surabaya yang mempunyai kepedulian tinggi pada kebersihan lingkungan. Saat pertama pindah dari Trenggalek, Sriyatun langsung berhadapan dengan perilaku buruk membuang sampah dan hajat sembarangan ke Kali Surabaya yang sudah membudaya dari warga sekitarnya. Padahal, air dari Kali Surabaya-lah yang digunakan oleh PDAM Surabaya sebagai sumber bahan baku air bersih untuk warga Surabaya.
Sejak tahun 1973, Sriyatun mulai bergerilya memberikan penyuluhan tentang hidup sehat dan bersih ke warga sekitar. Butuh waktu hingga tahun 1986, hingga akhirnya Sriyatun berhasil memotivasi sekitar 1000 warga yang tersebar di 14 kecamatan sekitar Jambangan, untuk menghapus tabiat buruk mereka. Selanjutnya, tak hanya bisa menanamkan budaya hidup sehat dan bersih, Sriyatun berhasil menaikkan taraf perekonomian kadernya dari sampah. Lewat berbagai inovasi pengelolaan dan pengolahan sampah, Sriyatun mengubah limbah menjadi barang bernilai ekonomi tinggi. Pupuk kompos, beragam barang kerajinan dari sampah plastik bernilai ekspor, pakan ikan hingga bahan baku jamu menjadi penambah penghasilan kader lingkungan Sriyatun dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah per bulan. "Bagi saya, asal mau mengolah sampah dengan baik, selain akan menjadikan berkah juga akan menghasilkan rupiah" tutup Sriyatun dengan mantap.
Namun berkat kegigihan dan kerja keras tak kenal lelah Sunarya dan Slamet Hadi, justru warga yang pertama kali mencibir merekalah yang pertama kali juga meminta aliran listrik ke rumahnya. Listrik berdaya 5000 watt dari kincir air, berhasil diciptakan duet "pakdhe" dan "ponakan" ini untuk menerangi sekitar 150 rumah di dusun Sungai Tengah. Bahkan kegigihan pasangan ini, akhirnya memotivasi sekitar 50 warga lainnya untuk mengikuti jejak mereka membuat generator pembangkit listrik mini di rumahnya masing-masing.
Sementara bagi warga Bagendit Garut Jawa Barat, iuran sesendok beras dan uang seratus rupiah per hari mampu diubah menjadi bangunan madrasah atau sekolah, masjid, jalan beraspal hingga fasilitas umum dan sosial desa. Warga desa Bagendit mampu mengubah wajah desanya menjadi lebih indah dan sejahtera secara swadaya, tanpa campur tangan bantuan dari pemerintah.
Semuanya berawal dari tradisi turun temurun iuran sesendok beras per hari yang tetap dipatuhi setiap warga, untuk dikumpulkan sebagai dana swadaya masyarakat. Tekad untuk meneruskan tradisi ini, dilaksanakan oleh kepala desa Bagendit yang juga mewarisi jabatan itu dari ayahnya, Yayan Sofyan. Didukung oleh sejumlah tokoh pemuda desa, muncul inovasi untuk menambahi iuran sesendok beras dengan iuran uang seratus rupiah per hari. Dengan pengelolaan yang baik, dana tersebut mampu dikembangkan selain sebagai dana pembangunan desa, juga sebagai dana simpan pinjam, dana asuransi kesehatan hingga dana beasiswa sekolah ke tingkat SMA.
Sedangkan bagi Abu Wenna, petambak dari desa Lauwa, Wajo, Sulawesi Selatan, abrasi pantai di daerahnya yang mencapai 17 meter per tahun benar-benar menjadi kepedulian utamanya. Tanpa memperdulikan celaan tetangganya yang menganggapnya sebagai orang gila, Abu Wenna sendirian menyusuri pantai teluk Bone dan mulai menanami pesisir pantai dengan beragam tanaman Mangrove pada tahun 1994. "Semua orang berpendapat bahwa menanam Mangrove sia-sia untuk mencegah abrasi, menurut mereka harusnya dengan pembangunan beton untuk memagari pantai. Tapi bagi saya, tanaman Mangrove-lah yang paling tepat untuk menjaga pantai dari pengikisan" terang Abu Wenna.
Alhasil, sikap cuek Abu Wenna untuk terus melaksanakan misinya berujung dengan sejumlah keberhasilan. Abrasi pantai di kawasan Teluk Bone telah berkurang drastis sepanjang 17 kilometer, berkat rerimbunan tanaman Mangrove yang ditanam Abu Wenna. Tak hanya itu, kerja kerasnya menyelamatkan pantai dari pengikisan diakui oleh pemerintah pusat. Pada 5 Juni 2008 lalu, Abu Wenna diundang presiden SBY ke Istana Negara untuk menerima penghargaan Kalpataru sebagai salah satu tokoh perintis lingkungan hidup.
Penghargaan serupa juga dianugerahkan pada Sriyatun Djupri, ibu rumah tangga dari kelurahan Jambangan Surabaya yang mempunyai kepedulian tinggi pada kebersihan lingkungan. Saat pertama pindah dari Trenggalek, Sriyatun langsung berhadapan dengan perilaku buruk membuang sampah dan hajat sembarangan ke Kali Surabaya yang sudah membudaya dari warga sekitarnya. Padahal, air dari Kali Surabaya-lah yang digunakan oleh PDAM Surabaya sebagai sumber bahan baku air bersih untuk warga Surabaya.
Sejak tahun 1973, Sriyatun mulai bergerilya memberikan penyuluhan tentang hidup sehat dan bersih ke warga sekitar. Butuh waktu hingga tahun 1986, hingga akhirnya Sriyatun berhasil memotivasi sekitar 1000 warga yang tersebar di 14 kecamatan sekitar Jambangan, untuk menghapus tabiat buruk mereka. Selanjutnya, tak hanya bisa menanamkan budaya hidup sehat dan bersih, Sriyatun berhasil menaikkan taraf perekonomian kadernya dari sampah. Lewat berbagai inovasi pengelolaan dan pengolahan sampah, Sriyatun mengubah limbah menjadi barang bernilai ekonomi tinggi. Pupuk kompos, beragam barang kerajinan dari sampah plastik bernilai ekspor, pakan ikan hingga bahan baku jamu menjadi penambah penghasilan kader lingkungan Sriyatun dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah per bulan. "Bagi saya, asal mau mengolah sampah dengan baik, selain akan menjadikan berkah juga akan menghasilkan rupiah" tutup Sriyatun dengan mantap.